1.SEJARAH TEORI
KULTIVASI
Teori
ini diperkenalkan oleh George Gerbner pada tahun 1960 ketika ia menjadi dekan
Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat
(AS) dengan tulisannya yang berjudul “Living with Television : The Violenceprofile”. Ia melakukan
penelitian untuk mempelajari pengaruh televisi terhadap khalayak. Dengan kata
lain, ia ingin mengetahui seperti apa dunia nyata yang dipersepsikan oleh
penonton televisi.
Teori
ini menggambarkan bagaimana pengaruh televisi terhadap tindak kekerasan.
Gerbner menyatakan televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan mempengaruhi
masyarakat modern.. Apa yang ditampilkan di televisi dipandang
sebagai sebuah kehidupan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja
kenyataannya belum tentu demikian.
Pada
tahun 1999 The Annenberg Public Policy melaporkan bahwa 28% acara anak-anak
mengandung 4 atau 5 adegan kekerasan, dan 75% dari program ini tidak memiliki
ukuran atau tingkat kekerasan (“Value of Children’s Shows,” seperti dikutip
dari Wood, 2004 : 245).
Di tahun
yang sama, penelitian menunjukkan bahwa anak berusia 6 tahun kira-kira telah
menghabiskan 5000 jam untuk menonton TV, sedangkan usia 18 tahun kira-kira telah
menghabiskan 19000 jam untuk televisi. Hampir semua anak-anak diatas
menyaksikan televisi tanpa pengawasan dari orang tua dan tanpa peraturan
mengenai apa saja yang boleh mereka saksika dari program televisi (Rideout,
Foehr, Roberts, & Bordie, dikutip dari Wood, 2004 : 245).
Mengapa
kekerasan lebih terlihat dalam dunia televisi daripada dunia nyata? Menurut
Wood, acara televisi menggunakan kekerasan untuk meningkatkan daya tarik dan
situmulus dari khalayak. Salah satu cara yang digunkan untuk meningkatkan
rating.
Berbicara
mengenai teori kultivasi, terdapat dua tipe penonton televisi. Tipe pertama
adalah mereka yang memiliki ketergantungan terhadap televisi (Heavy viewers),
penonton lebih dari 4 jam/hari (konsumsi tinggi terhadap penggunaan televisi) dan
lawannya penonton konsumsi rendah (Light Viewers). Heavy viewers percaya bahwa
dunia nyata sesuai dengan apa yang ada di televisi.
2.Asumsi
Teori Kultivasi
Gerbner,
dalam teorinya, menjelaskan bahwa kultivasi memiliki 5 asumsi.
1. Televisi sesuatu yang unik
Televisi secara mendasar
dan esensial berbeda dari bentuk media massa yang lain. Teori kultivasi percaya
bahwa televisi memiliki perbedaan dengan media lainnya. Pertama, telvisi pervasive (mudah meresap). Pada tahun
1950, hanya 9% dari rumah tangga yang memiliki televisi. Pada 1991, 98,3 % ,
dan pada tahun 2001 99% warga amerika memiliki televisi. Rata-rata setiap
keluarga menghabiskan 7 jam/hari uuntuk menyaksikan televisi, membuat ini
semakin potensial mempengaruhi televisi.
Kedua,
televisi lebih terbuka dan mudah. Tidak perlu kemampuan membaca, atau kemampuan
menggunakan komputer atau mengakses internet. Ketiga, televisi sangat mudah
diakses oleh siapapun dan dari tingkatan apapun. Seseorang dapat menyaksikan
televisi tanpa harus pergi ke perpustakaan atau bioskop. Anak-anak yang masih
balita juga dapat terhibur jika menyaksikan televisi. Karena berbagai fasilitas
ini televisi dianggap unik.
2. Televisi merupakan arus utama kebudayaan
Teori Kultivasi mengklaim
bahwa televisi adalah “senjata utama kebudayaan” di Aerika. Karena ini mudah
diakses oleh sebagian besar masyarakat, televisi dapat mengkonstruksi arus
utama budaya (cultural mainstream) atau
pandangan umum dalam hidup bermasyarakat. Penonton berat sebenarnya mengalami
kesalahpahaman mendasar antara gambar yang dibuat di televisi dengan dunia
nyata. Wood (2004) menjelaskan, untuk mendeskripsikan proses dari jangkauan
televisi, dapat dilakukan identifikasi “the three Bs”: blurring, blending, dan bending.
Ketiga hal ini yang menormalkan pandangan dunia dan menjadikannya sesuai.
(Gerbner,
seperti dikutip Wood 2004 : 250) menjelaskan bahwa televisi mengaburkan (blurring) pandangan dunia tentang suatu
perbedaan : televisi mencampur (blending)
keberagaman menjadi satu (homogeneous
mainstream view) : dan membelokkan (bending)
pandangan utama demi kepentingan sponsor.
3. Televisi memupuk asumsi yang luas tentang
kehidupan lebih dari sikap tertentu atau pendapat
Premis ini menegaskan bahwa
televisi berpengaruh dalam membentuk asumsi pokok tentang kehidupan dan
bagaimana cara kehidupan itu berjalan daripada hanya sebatas suatu pemikiran
atau pendapat. Jelasnya, gambaran kehidupan yang tergambarkan di televisi memperlihatkan
sikap tertentu seseorang mengenai kelompok masyarakat, tingkat kekerasan, dan
sebagainya. Namun, fokus dari teori kultivasi adalah bukan saja mengenai
pemikiran atau sikap tertentu tetapi lebih ke permasalahan umum tentang dunia
atau pengaruh dari tayangan tersebut dalam tindakan-tindakan bermasyarakat. Dan
menurut asumsi ini, isi kekerasan yang ada ditelevisi bukan sebuah sikap atau
opini terntentu sebagaimana asumsi dasar mengenai fakta dalam kehidupan serta
standar penilaian ketika kesimpulan didasarkan.
Pandangan
dasar dunia yang dipelajari oleh teori kultivasi dicontohkan dalam penetilitian
mean world syndrome, yang meyakini
bahwa dunia adalah tempat berbahaya dan penuh dengan orang-orang yang tidak
dapat dipercaya dan yang kemungkinan dapat menyakiti kita. Televisi
menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang jahat dan berbahaya dimanapun
seseorang berada dapat berisiko. Diantara tahun 1967 dan 1985, (Nancy
Signorielli, dikutip dari Wood 2004 : 251), mempelajari lebih dari 2000 program
anak-anak, dan menemukan indikasi kekerasan di dalamnya 71% di hari biasa dan
94% di acara-acara akhir pekan. Rata-rata lebih dari 5 adegan kekerasan/jam di
hari biasa, dan 6 adegan kekerasan/jam di acara akhir pekan.
Dalam
penelitiannya dia mengindikasikan bahwa penonton berat lebih mengartikan dunia
sebagai sesuatu yang jahat dan tidak dapat dipercaya daripada penonton ringan.
4. Televisi adalah media sosialisasi koservatif
Konservatif pada bagian ini
tidak mengacu kepada posisi politik ataupun nilai sosial, justru lebih
cenderung untuk mendukung atau membangun praktek dan nilai-nilai kebudayaan (cultural practices and values).
Karena
televisi menjangkau seluruh kalangan masyarakat, televisi menjadi bagian dari
agen kebudayaan. Mengapa televisi dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat
konservatif ? Televisi mampu memperkuat pola sosial yang sudah ada dan menanamkan
resistensi terhadap perubahan. Di sisi lain,
televisi berfungsi untuk menormalkan dan memelihara status quo. Alasan
mengapa televisi dapat menormalkan keadaan pola sosial masyarakat karena media
itu sendiri sangat repetitif, kualitas dalam memupuk kenyamanan dengan sesuatu
yang umum, atau pola yang biasa.
5. Pengaruh yang dapat diamati dari televisi
terhadap kebudayaan relatif kecil
Ketika
mendengar asumsi ini, mungkin ada sedikit kebingungan. Untuk mengerti preposisi
ini, Gerbner memberikan penjelasan the
ice age metaphor (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, dikutip oleh
Wood, 2004 : 252), Hanya perubahan beberapa derajat suhu rata-rata dapat
membuat dunia berubah menjadi zaman es atau hasil dari pemilu dapat ditentukan
hanya dengan sedikit kesempatan, jadi memang hal itu relatif kecil namun dapat
membawa pengaruh yang luas dan membuat perbedaan budaya.
Teori
Kultivasi menegaskan bahwa efek televisi yang secara terus menerus dapat
berarti penting, walaupun efek khususnya bisa jadi kecil. Jadi, dapat
dimengerti bahwa, efek khusus yang relatif kecil, akan tetap memiliki dampak
yang signifikan apabila terjadi secara berulang.
3.Konsep-konsep
Kultivasi merupakan
kontribusi televisi pada penciptaan kerangka budaya atau pengetahuan dan konsep
umum yang mendasarinya (Baran dan Davis, terj.,
Daud dan Izzati, 2010 : 402).
Sedangkan
menurut Wood, kultivasi adalah proses kumulatif dimana televisi memupuk
keyakinan tentang realitas sosial.
Menurut Teori Kultivasi,
televisi merupakan “sistem pesan” yang “menanamkan” atau menciptakan pandangan
terhadap dunia, yang walaupun kemungkinan tidak akurat, tetapi menjadi realitas
hanya karena kita-sebagai manusia-percaya bahwa hal tersebut adalah realitas
dan mendasarkan penilaian kita terhadap dunia sehari-hari kepada “realitas”
tersebut (Baran dan Davis, terj.,
Daud dan Izzati, 2010 : 402).
Untuk
mengetahui pandangan kaum kultivasi terhadap televisi sebagai medium yang
berpengaruh terhadap budaya, dapat dijelaskan melalui proses empat langkah.
Langkah pertama adalah analisis sistem pesan, yaitu analisis konten televisi secara mendetail untuk mengukur
tampilan gambar, tema, serta penggambaran secara berkala dan konsisten. Langkah
kedua adalah formulasi pertanyaan mengenai
realitas sosial pemirsa. Ingatkah anda pada pertanyaan sebelumnya mengenai kriminalitas
? Pertanyaan-pertannyaan tersebut didapatkan dari studi kultivasi. Langkah
ketiga adalah dengan mensurvei khalayak, menanyakan pertanyaan dari langkah
kedua kepada mereka dan menanyakan mereka mengenai jumlah konsumsi televisi.
Terakhir, membandingkan realitas sosial dari penonton dengan konsumsi rendah (light viewer) dan penonton dengan
konsumsi tinggi (heavy viewer).
Terdapat
dua cara hingga terjadinya kultivasi :
Mainstreaming
Televisi
menyimpulkan monopoli dan dominasi sumber informasi serta ide lain mengenai
dunia. Orang-orang menghayati realitas sosial yang pada akhirnya cenderung
mengikuti mayoritas, bukan dalam artian secara politik, tetapi realitas budaya
dominan yang lebih dekat kepada realitas televisi daripada realitas obyektif.
Apakah sistem keadilan terhadap kejahatan sudah gagal ? Demikian adanya jika
kita berpikir demikian.
Resonansi
Ketika penonton melihat
hal-hal di televisi yang serupa dan mirip dengan realitas mereka sehari-hari.
Intinya, orang-orang mendapatkan “dosis dobel” dari kultivasi karena apa yang
mereka lihat di televisi mengulang apa yang terjadi pada kehidupan mereka
sesungguhnya. Beberapa penduduk kota, misalnya, mungkin melihat dunia kekerasan
di televisi mencerminkan lingkungan mereka sendiri yang buruk.
A. Indeks Kekerasan
Indeks
kekerasan adalah analisis konten tahunan dari sampel mingguan program hiburan
pada jam tayang utama televisi yang memperlihatkan seberapa banyak kekerasan
ditayangkan.
Dalam
satu minggu, secara umum, seberapa besar kemungkinan anda terlibat dalam tindak
kekerasan, sekitar satu banding 10 atau 1 banding 100 ? Dalam dunia nyata,
sebesar 0,41 tindak kekerasan terjadi per 100 orang Amerika, atau kurang dari 1
banding 200. Dalam dunia pertelevisian di jam tayang utama (prime time), lebih dari 64 persen dari
seluruh tokohnya terlibat dalam kekerasan (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
Indeks
kekerasan ini adalah bagian dari tugas Gerbner, yaitu membuat analisis konten
tahunan dari sampel mingguan dari program hiburan jam tayang utama televisi
yang memperlihatkan, dari musim ke musim, seberapa banyak kekerasan yang
sebenernya ditayangkan dalam program tersebut.
Namun
indeks kekerasan ini juga menuai kritik dari Majalah TV Guide bahkan menyebutnya sebagai “kesalahan jutaan dolar”. Perdebetan mengenai definisi kekerasan. Bagaimanakah “kekerasan dalam
televisi” didefinisikan ? Apakah serangan verbal merupakan kekerasan ? apakah
dua remaja yang main-main disebut kekerasan ? apakah kekerasan dalam film
kartun bermasalah?
Gerbner
dan koleganya mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dan setiap tahunnya
menyusun kembali skema definisi dan laporan mereka.
Walaupun
seperti itu, ada hal yang belum terjawab dalam proses ini, lalu dijawab dengan
penelitian sejanjutnya proyek indikator
kebudayaan. Menurut analisis kultivasi, merupakan penelitian dalam waktu
tertentu terhadap program televisi dan konsepsi realitas sosial yang ditanamkan
oleh tindakan menonton.
Penelitian
menjawab pertanyaan “lalu apa” dengan mengutarakan asumsi-asumsinya, seperti
yang sudah tertulis diatas.
B.
Indeks
Dunia Yang Kejam
Salah
satu contoh manfaat dari kultivasi adalah indeks
dunia yang kejam, yaitu serangkaian pertanyaan mengenai insiden dan
kekerasan yang jawabannya dapat digunakan untuk membedakan para penonton dengan
konsumsi tinggi dan penonton dengan konsumsi rendah.
Berikut contoh pertanyaan dalam indeks dunia yang kejam (Baran
dan Davis, terj., Daud dan Izzati,
2010 : 407) :
1. Apakah
Anda percaya bahwa sebagian besar orang hanya memikirkan diri mereka sendiri ?
2. Menurut
Anda, apakah tidak ada istilah terlalu berhati-hati dalam berhadappan dengan
seseorang ?
3.
Menurut Anda, apakah sebagian besar
orang akan memanfaatkan Anda jika mereka punya kesempatan ?
Ternyata melalui penelitian
terlihat bahwa penonton dengan konsumsi tinggi melihat dunia sebagai tempat
yang kejam dibandingkan dengan penonton konsumsi rendah. Para penonton yang
lebih berpendidikan dan lebih mapan secara umum melihat dunia tidak sekejam
seperti yang digambarkan oleh mereka yang kurang berpendidikan atau mereka yang
kurang mapan. Demikian hasil temuan Gerbner yang bermanfaat dalam perkembangan teori komunikasi
massa.
4.Evaluasi
Teori
Teori ini
memiliki beberapa kelebihan yaitu, memberikan penjelasan terperinci mengenai
peran televisi, memberikan dasar bagi perubahan sosial, terutama melalui media
televisi. Selain itu, teori ini juga dapat menerjemahkan kembali
“efek” sebagai lebih dari sekedar perubahan perilaku yang dapat diamati.
Kekurangan
dari teori ini adalah menganggap bahwa penonton itu pasif dan berfokus pada
penonton televisi dengan konsumsi tinggi.
Referensi
1. Baran, S. J., dan Dennis K. Davis. (2010).
Mass Communication Theory : Foundations, Ferment, and Future (5th
ed), terj. Afrianto Daud, dan Putri
Iva Izzati. Jakarta : Salemba Humanika.
2. Griffin, E. (1997). Communication
: A first look at communication theory (3th ed.). New York : McGraw-Hill.
3. Littlejohn, S. (2008). Theories
of human communication (9th
ed.). Belmont : Wadsworth.
4. Nurudin. (2007). Pengantar
Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada..
5. Wood, J.T. (2004). Communication
Theories in Action, An Introduction (3th ed.). Belmont : Wadsworth.
1 komentar:
Terima kasih Gan (y) Keren
Posting Komentar