Kamis, 20 Juni 2013

Teori Kultivasi

1.SEJARAH  TEORI  KULTIVASI
            Teori ini diperkenalkan oleh George Gerbner pada tahun 1960 ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS) dengan tulisannya yang berjudul “Living with  Television : The Violenceprofile”. Ia melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh televisi terhadap khalayak. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui seperti apa dunia nyata yang dipersepsikan oleh penonton televisi.
            Teori ini menggambarkan bagaimana pengaruh televisi terhadap tindak kekerasan. Gerbner menyatakan televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan mempengaruhi masyarakat modern.. Apa yang ditampilkan di televisi dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja kenyataannya belum tentu demikian.
            Pada tahun 1999 The Annenberg Public Policy melaporkan bahwa 28% acara anak-anak mengandung 4 atau 5 adegan kekerasan, dan 75% dari program ini tidak memiliki ukuran atau tingkat kekerasan (“Value of Children’s Shows,” seperti dikutip dari Wood, 2004 : 245).
            Di tahun yang sama, penelitian menunjukkan bahwa anak berusia 6 tahun kira-kira telah menghabiskan 5000 jam untuk menonton TV, sedangkan usia 18 tahun kira-kira telah menghabiskan 19000 jam untuk televisi. Hampir semua anak-anak diatas menyaksikan televisi tanpa pengawasan dari orang tua dan tanpa peraturan mengenai apa saja yang boleh mereka saksika dari program televisi (Rideout, Foehr, Roberts, & Bordie, dikutip dari Wood, 2004 : 245).
            Mengapa kekerasan lebih terlihat dalam dunia televisi daripada dunia nyata? Menurut Wood, acara televisi menggunakan kekerasan untuk meningkatkan daya tarik dan situmulus dari khalayak. Salah satu cara yang digunkan untuk meningkatkan rating.
            Berbicara mengenai teori kultivasi, terdapat dua tipe penonton televisi. Tipe pertama adalah mereka yang memiliki ketergantungan terhadap televisi (Heavy viewers), penonton lebih dari 4 jam/hari (konsumsi tinggi terhadap penggunaan televisi) dan lawannya penonton konsumsi rendah (Light Viewers). Heavy viewers percaya bahwa dunia nyata sesuai dengan apa yang ada di televisi.
           

2.Asumsi Teori Kultivasi
            Gerbner, dalam teorinya, menjelaskan bahwa kultivasi memiliki 5 asumsi.
1.     Televisi sesuatu yang unik
            Televisi secara mendasar dan esensial berbeda dari bentuk media massa yang lain. Teori kultivasi percaya bahwa televisi memiliki perbedaan dengan media lainnya. Pertama, telvisi pervasive (mudah meresap). Pada tahun 1950, hanya 9% dari rumah tangga yang memiliki televisi. Pada 1991, 98,3 % , dan pada tahun 2001 99% warga amerika memiliki televisi. Rata-rata setiap keluarga menghabiskan 7 jam/hari uuntuk menyaksikan televisi, membuat ini semakin potensial mempengaruhi televisi.
            Kedua, televisi lebih terbuka dan mudah. Tidak perlu kemampuan membaca, atau kemampuan menggunakan komputer atau mengakses internet. Ketiga, televisi sangat mudah diakses oleh siapapun dan dari tingkatan apapun. Seseorang dapat menyaksikan televisi tanpa harus pergi ke perpustakaan atau bioskop. Anak-anak yang masih balita juga dapat terhibur jika menyaksikan televisi. Karena berbagai fasilitas ini televisi dianggap unik.

2.     Televisi merupakan arus utama kebudayaan
          Teori Kultivasi mengklaim bahwa televisi adalah “senjata utama kebudayaan” di Aerika. Karena ini mudah diakses oleh sebagian besar masyarakat, televisi dapat mengkonstruksi arus utama budaya (cultural mainstream) atau pandangan umum dalam hidup bermasyarakat. Penonton berat sebenarnya mengalami kesalahpahaman mendasar antara gambar yang dibuat di televisi dengan dunia nyata. Wood (2004) menjelaskan, untuk mendeskripsikan proses dari jangkauan televisi, dapat dilakukan identifikasi “the three Bs”: blurring, blending, dan bending. Ketiga hal ini yang menormalkan pandangan dunia dan menjadikannya sesuai.
            (Gerbner, seperti dikutip Wood 2004 : 250) menjelaskan bahwa televisi mengaburkan (blurring) pandangan dunia tentang suatu perbedaan : televisi mencampur (blending) keberagaman menjadi satu (homogeneous mainstream view) : dan membelokkan (bending) pandangan utama demi kepentingan sponsor.

3.     Televisi memupuk asumsi yang luas tentang kehidupan lebih dari sikap tertentu atau pendapat
            Premis ini menegaskan bahwa televisi berpengaruh dalam membentuk asumsi pokok tentang kehidupan dan bagaimana cara kehidupan itu berjalan daripada hanya sebatas suatu pemikiran atau pendapat. Jelasnya, gambaran kehidupan yang tergambarkan di televisi memperlihatkan sikap tertentu seseorang mengenai kelompok masyarakat, tingkat kekerasan, dan sebagainya. Namun, fokus dari teori kultivasi adalah bukan saja mengenai pemikiran atau sikap tertentu tetapi lebih ke permasalahan umum tentang dunia atau pengaruh dari tayangan tersebut dalam tindakan-tindakan bermasyarakat. Dan menurut asumsi ini, isi kekerasan yang ada ditelevisi bukan sebuah sikap atau opini terntentu sebagaimana asumsi dasar mengenai fakta dalam kehidupan serta standar penilaian ketika kesimpulan didasarkan.
            Pandangan dasar dunia yang dipelajari oleh teori kultivasi dicontohkan dalam penetilitian mean world syndrome, yang meyakini bahwa dunia adalah tempat berbahaya dan penuh dengan orang-orang yang tidak dapat dipercaya dan yang kemungkinan dapat menyakiti kita. Televisi menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang jahat dan berbahaya dimanapun seseorang berada dapat berisiko. Diantara tahun 1967 dan 1985, (Nancy Signorielli, dikutip dari Wood 2004 : 251), mempelajari lebih dari 2000 program anak-anak, dan menemukan indikasi kekerasan di dalamnya 71% di hari biasa dan 94% di acara-acara akhir pekan. Rata-rata lebih dari 5 adegan kekerasan/jam di hari biasa, dan 6 adegan kekerasan/jam di acara akhir pekan.
            Dalam penelitiannya dia mengindikasikan bahwa penonton berat lebih mengartikan dunia sebagai sesuatu yang jahat dan tidak dapat dipercaya daripada penonton ringan.
4.     Televisi adalah media sosialisasi koservatif
            Konservatif pada bagian ini tidak mengacu kepada posisi politik ataupun nilai sosial, justru lebih cenderung untuk mendukung atau membangun praktek dan nilai-nilai kebudayaan (cultural practices and values).
            Karena televisi menjangkau seluruh kalangan masyarakat, televisi menjadi bagian dari agen kebudayaan. Mengapa televisi dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat konservatif ? Televisi mampu memperkuat pola sosial yang sudah ada dan menanamkan resistensi terhadap perubahan. Di sisi lain,  televisi berfungsi untuk menormalkan dan memelihara status quo. Alasan mengapa televisi dapat menormalkan keadaan pola sosial masyarakat karena media itu sendiri sangat repetitif, kualitas dalam memupuk kenyamanan dengan sesuatu yang umum, atau pola yang biasa.

5.     Pengaruh yang dapat diamati dari televisi terhadap kebudayaan relatif kecil
            Ketika mendengar asumsi ini, mungkin ada sedikit kebingungan. Untuk mengerti preposisi ini, Gerbner memberikan penjelasan the ice age metaphor (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, dikutip oleh Wood, 2004 : 252), Hanya perubahan beberapa derajat suhu rata-rata dapat membuat dunia berubah menjadi zaman es atau hasil dari pemilu dapat ditentukan hanya dengan sedikit kesempatan, jadi memang hal itu relatif kecil namun dapat membawa pengaruh yang luas dan membuat perbedaan budaya.
            Teori Kultivasi menegaskan bahwa efek televisi yang secara terus menerus dapat berarti penting, walaupun efek khususnya bisa jadi kecil. Jadi, dapat dimengerti bahwa, efek khusus yang relatif kecil, akan tetap memiliki dampak yang signifikan apabila terjadi secara berulang.

3.Konsep-konsep
            Kultivasi merupakan kontribusi televisi pada penciptaan kerangka budaya atau pengetahuan dan konsep umum yang mendasarinya (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
            Sedangkan menurut Wood, kultivasi adalah proses kumulatif dimana televisi memupuk keyakinan tentang realitas sosial.
            Menurut Teori Kultivasi, televisi merupakan “sistem pesan” yang “menanamkan” atau menciptakan pandangan terhadap dunia, yang walaupun kemungkinan tidak akurat, tetapi menjadi realitas hanya karena kita-sebagai manusia-percaya bahwa hal tersebut adalah realitas dan mendasarkan penilaian kita terhadap dunia sehari-hari kepada “realitas” tersebut (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
            Untuk mengetahui pandangan kaum kultivasi terhadap televisi sebagai medium yang berpengaruh terhadap budaya, dapat dijelaskan melalui proses empat langkah. Langkah pertama adalah analisis sistem pesan, yaitu analisis konten televisi secara mendetail untuk mengukur tampilan gambar, tema, serta penggambaran secara berkala dan konsisten. Langkah kedua adalah formulasi pertanyaan mengenai realitas sosial pemirsa. Ingatkah anda pada pertanyaan sebelumnya mengenai kriminalitas ? Pertanyaan-pertannyaan tersebut didapatkan dari studi kultivasi. Langkah ketiga adalah dengan mensurvei khalayak, menanyakan pertanyaan dari langkah kedua kepada mereka dan menanyakan mereka mengenai jumlah konsumsi televisi. Terakhir, membandingkan realitas sosial dari penonton dengan konsumsi rendah (light viewer) dan penonton dengan konsumsi tinggi (heavy viewer).
            Terdapat dua cara hingga terjadinya kultivasi :

Mainstreaming
            Televisi menyimpulkan monopoli dan dominasi sumber informasi serta ide lain mengenai dunia. Orang-orang menghayati realitas sosial yang pada akhirnya cenderung mengikuti mayoritas, bukan dalam artian secara politik, tetapi realitas budaya dominan yang lebih dekat kepada realitas televisi daripada realitas obyektif. Apakah sistem keadilan terhadap kejahatan sudah gagal ? Demikian adanya jika kita berpikir demikian.

Resonansi
            Ketika penonton melihat hal-hal di televisi yang serupa dan mirip dengan realitas mereka sehari-hari. Intinya, orang-orang mendapatkan “dosis dobel” dari kultivasi karena apa yang mereka lihat di televisi mengulang apa yang terjadi pada kehidupan mereka sesungguhnya. Beberapa penduduk kota, misalnya, mungkin melihat dunia kekerasan di televisi mencerminkan lingkungan mereka sendiri yang buruk.
                       
           


           
A.    Indeks Kekerasan
      Indeks kekerasan adalah analisis konten tahunan dari sampel mingguan program hiburan pada jam tayang utama televisi yang memperlihatkan seberapa banyak kekerasan ditayangkan.
      Dalam satu minggu, secara umum, seberapa besar kemungkinan anda terlibat dalam tindak kekerasan, sekitar satu banding 10 atau 1 banding 100 ? Dalam dunia nyata, sebesar 0,41 tindak kekerasan terjadi per 100 orang Amerika, atau kurang dari 1 banding 200. Dalam dunia pertelevisian di jam tayang utama (prime time), lebih dari 64 persen dari seluruh tokohnya terlibat dalam kekerasan (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
      Indeks kekerasan ini adalah bagian dari tugas Gerbner, yaitu membuat analisis konten tahunan dari sampel mingguan dari program hiburan jam tayang utama televisi yang memperlihatkan, dari musim ke musim, seberapa banyak kekerasan yang sebenernya ditayangkan dalam program tersebut.
      Namun indeks kekerasan ini juga menuai kritik dari Majalah TV Guide bahkan menyebutnya sebagai “kesalahan jutaan dolar”.  Perdebetan mengenai definisi kekerasan. Bagaimanakah “kekerasan dalam televisi” didefinisikan ? Apakah serangan verbal merupakan kekerasan ? apakah dua remaja yang main-main disebut kekerasan ? apakah kekerasan dalam film kartun bermasalah?
      Gerbner dan koleganya mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dan setiap tahunnya menyusun kembali skema definisi dan laporan mereka.
      Walaupun seperti itu, ada hal yang belum terjawab dalam proses ini, lalu dijawab dengan penelitian sejanjutnya proyek indikator kebudayaan. Menurut analisis kultivasi, merupakan penelitian dalam waktu tertentu terhadap program televisi dan konsepsi realitas sosial yang ditanamkan oleh tindakan menonton.
      Penelitian menjawab pertanyaan “lalu apa” dengan mengutarakan asumsi-asumsinya, seperti yang sudah tertulis diatas.
B.    Indeks Dunia Yang Kejam
      Salah satu contoh manfaat dari kultivasi adalah indeks dunia yang kejam, yaitu serangkaian pertanyaan mengenai insiden dan kekerasan yang jawabannya dapat digunakan untuk membedakan para penonton dengan konsumsi tinggi dan penonton dengan konsumsi rendah.
     Berikut contoh pertanyaan dalam indeks dunia yang kejam (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 407) :
1.     Apakah Anda percaya bahwa sebagian besar orang hanya memikirkan diri mereka sendiri ?
2.     Menurut Anda, apakah tidak ada istilah terlalu berhati-hati dalam berhadappan dengan seseorang ?
3.     Menurut Anda, apakah sebagian besar orang akan memanfaatkan Anda jika mereka punya kesempatan ?
      Ternyata melalui penelitian terlihat bahwa penonton dengan konsumsi tinggi melihat dunia sebagai tempat yang kejam dibandingkan dengan penonton konsumsi rendah. Para penonton yang lebih berpendidikan dan lebih mapan secara umum melihat dunia tidak sekejam seperti yang digambarkan oleh mereka yang kurang berpendidikan atau mereka yang kurang mapan. Demikian hasil temuan Gerbner yang  bermanfaat dalam perkembangan teori komunikasi massa.
4.Evaluasi Teori
            Teori ini memiliki beberapa kelebihan yaitu, memberikan penjelasan terperinci mengenai peran televisi, memberikan dasar bagi perubahan sosial, terutama melalui media televisi.           Selain itu, teori ini juga dapat menerjemahkan kembali “efek” sebagai lebih dari sekedar perubahan perilaku yang dapat diamati.
            Kekurangan dari teori ini adalah menganggap bahwa penonton itu pasif dan berfokus pada penonton televisi dengan konsumsi tinggi.

     

Referensi
1.      Baran, S. J., dan Dennis K. Davis. (2010). Mass Communication Theory : Foundations,            Ferment, and Future (5th ed), terj. Afrianto Daud, dan Putri Iva Izzati. Jakarta : Salemba     Humanika.
2.     Griffin, E. (1997). Communication : A first look at communication theory (3th ed.). New              York : McGraw-Hill.
3.     Littlejohn, S. (2008). Theories of  human communication (9th ed.). Belmont : Wadsworth.
4.     Nurudin. (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada..
5.     Wood, J.T. (2004). Communication Theories in Action, An Introduction (3th ed.).         Belmont : Wadsworth.


1 komentar:

Yustian_Erlangga mengatakan...

Terima kasih Gan (y) Keren

Posting Komentar