Kamis, 20 Juni 2013

Teori Kultivasi

1.SEJARAH  TEORI  KULTIVASI
            Teori ini diperkenalkan oleh George Gerbner pada tahun 1960 ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS) dengan tulisannya yang berjudul “Living with  Television : The Violenceprofile”. Ia melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh televisi terhadap khalayak. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui seperti apa dunia nyata yang dipersepsikan oleh penonton televisi.
            Teori ini menggambarkan bagaimana pengaruh televisi terhadap tindak kekerasan. Gerbner menyatakan televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan mempengaruhi masyarakat modern.. Apa yang ditampilkan di televisi dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja kenyataannya belum tentu demikian.
            Pada tahun 1999 The Annenberg Public Policy melaporkan bahwa 28% acara anak-anak mengandung 4 atau 5 adegan kekerasan, dan 75% dari program ini tidak memiliki ukuran atau tingkat kekerasan (“Value of Children’s Shows,” seperti dikutip dari Wood, 2004 : 245).
            Di tahun yang sama, penelitian menunjukkan bahwa anak berusia 6 tahun kira-kira telah menghabiskan 5000 jam untuk menonton TV, sedangkan usia 18 tahun kira-kira telah menghabiskan 19000 jam untuk televisi. Hampir semua anak-anak diatas menyaksikan televisi tanpa pengawasan dari orang tua dan tanpa peraturan mengenai apa saja yang boleh mereka saksika dari program televisi (Rideout, Foehr, Roberts, & Bordie, dikutip dari Wood, 2004 : 245).
            Mengapa kekerasan lebih terlihat dalam dunia televisi daripada dunia nyata? Menurut Wood, acara televisi menggunakan kekerasan untuk meningkatkan daya tarik dan situmulus dari khalayak. Salah satu cara yang digunkan untuk meningkatkan rating.
            Berbicara mengenai teori kultivasi, terdapat dua tipe penonton televisi. Tipe pertama adalah mereka yang memiliki ketergantungan terhadap televisi (Heavy viewers), penonton lebih dari 4 jam/hari (konsumsi tinggi terhadap penggunaan televisi) dan lawannya penonton konsumsi rendah (Light Viewers). Heavy viewers percaya bahwa dunia nyata sesuai dengan apa yang ada di televisi.
           

2.Asumsi Teori Kultivasi
            Gerbner, dalam teorinya, menjelaskan bahwa kultivasi memiliki 5 asumsi.
1.     Televisi sesuatu yang unik
            Televisi secara mendasar dan esensial berbeda dari bentuk media massa yang lain. Teori kultivasi percaya bahwa televisi memiliki perbedaan dengan media lainnya. Pertama, telvisi pervasive (mudah meresap). Pada tahun 1950, hanya 9% dari rumah tangga yang memiliki televisi. Pada 1991, 98,3 % , dan pada tahun 2001 99% warga amerika memiliki televisi. Rata-rata setiap keluarga menghabiskan 7 jam/hari uuntuk menyaksikan televisi, membuat ini semakin potensial mempengaruhi televisi.
            Kedua, televisi lebih terbuka dan mudah. Tidak perlu kemampuan membaca, atau kemampuan menggunakan komputer atau mengakses internet. Ketiga, televisi sangat mudah diakses oleh siapapun dan dari tingkatan apapun. Seseorang dapat menyaksikan televisi tanpa harus pergi ke perpustakaan atau bioskop. Anak-anak yang masih balita juga dapat terhibur jika menyaksikan televisi. Karena berbagai fasilitas ini televisi dianggap unik.

2.     Televisi merupakan arus utama kebudayaan
          Teori Kultivasi mengklaim bahwa televisi adalah “senjata utama kebudayaan” di Aerika. Karena ini mudah diakses oleh sebagian besar masyarakat, televisi dapat mengkonstruksi arus utama budaya (cultural mainstream) atau pandangan umum dalam hidup bermasyarakat. Penonton berat sebenarnya mengalami kesalahpahaman mendasar antara gambar yang dibuat di televisi dengan dunia nyata. Wood (2004) menjelaskan, untuk mendeskripsikan proses dari jangkauan televisi, dapat dilakukan identifikasi “the three Bs”: blurring, blending, dan bending. Ketiga hal ini yang menormalkan pandangan dunia dan menjadikannya sesuai.
            (Gerbner, seperti dikutip Wood 2004 : 250) menjelaskan bahwa televisi mengaburkan (blurring) pandangan dunia tentang suatu perbedaan : televisi mencampur (blending) keberagaman menjadi satu (homogeneous mainstream view) : dan membelokkan (bending) pandangan utama demi kepentingan sponsor.

3.     Televisi memupuk asumsi yang luas tentang kehidupan lebih dari sikap tertentu atau pendapat
            Premis ini menegaskan bahwa televisi berpengaruh dalam membentuk asumsi pokok tentang kehidupan dan bagaimana cara kehidupan itu berjalan daripada hanya sebatas suatu pemikiran atau pendapat. Jelasnya, gambaran kehidupan yang tergambarkan di televisi memperlihatkan sikap tertentu seseorang mengenai kelompok masyarakat, tingkat kekerasan, dan sebagainya. Namun, fokus dari teori kultivasi adalah bukan saja mengenai pemikiran atau sikap tertentu tetapi lebih ke permasalahan umum tentang dunia atau pengaruh dari tayangan tersebut dalam tindakan-tindakan bermasyarakat. Dan menurut asumsi ini, isi kekerasan yang ada ditelevisi bukan sebuah sikap atau opini terntentu sebagaimana asumsi dasar mengenai fakta dalam kehidupan serta standar penilaian ketika kesimpulan didasarkan.
            Pandangan dasar dunia yang dipelajari oleh teori kultivasi dicontohkan dalam penetilitian mean world syndrome, yang meyakini bahwa dunia adalah tempat berbahaya dan penuh dengan orang-orang yang tidak dapat dipercaya dan yang kemungkinan dapat menyakiti kita. Televisi menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang jahat dan berbahaya dimanapun seseorang berada dapat berisiko. Diantara tahun 1967 dan 1985, (Nancy Signorielli, dikutip dari Wood 2004 : 251), mempelajari lebih dari 2000 program anak-anak, dan menemukan indikasi kekerasan di dalamnya 71% di hari biasa dan 94% di acara-acara akhir pekan. Rata-rata lebih dari 5 adegan kekerasan/jam di hari biasa, dan 6 adegan kekerasan/jam di acara akhir pekan.
            Dalam penelitiannya dia mengindikasikan bahwa penonton berat lebih mengartikan dunia sebagai sesuatu yang jahat dan tidak dapat dipercaya daripada penonton ringan.
4.     Televisi adalah media sosialisasi koservatif
            Konservatif pada bagian ini tidak mengacu kepada posisi politik ataupun nilai sosial, justru lebih cenderung untuk mendukung atau membangun praktek dan nilai-nilai kebudayaan (cultural practices and values).
            Karena televisi menjangkau seluruh kalangan masyarakat, televisi menjadi bagian dari agen kebudayaan. Mengapa televisi dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat konservatif ? Televisi mampu memperkuat pola sosial yang sudah ada dan menanamkan resistensi terhadap perubahan. Di sisi lain,  televisi berfungsi untuk menormalkan dan memelihara status quo. Alasan mengapa televisi dapat menormalkan keadaan pola sosial masyarakat karena media itu sendiri sangat repetitif, kualitas dalam memupuk kenyamanan dengan sesuatu yang umum, atau pola yang biasa.

5.     Pengaruh yang dapat diamati dari televisi terhadap kebudayaan relatif kecil
            Ketika mendengar asumsi ini, mungkin ada sedikit kebingungan. Untuk mengerti preposisi ini, Gerbner memberikan penjelasan the ice age metaphor (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, dikutip oleh Wood, 2004 : 252), Hanya perubahan beberapa derajat suhu rata-rata dapat membuat dunia berubah menjadi zaman es atau hasil dari pemilu dapat ditentukan hanya dengan sedikit kesempatan, jadi memang hal itu relatif kecil namun dapat membawa pengaruh yang luas dan membuat perbedaan budaya.
            Teori Kultivasi menegaskan bahwa efek televisi yang secara terus menerus dapat berarti penting, walaupun efek khususnya bisa jadi kecil. Jadi, dapat dimengerti bahwa, efek khusus yang relatif kecil, akan tetap memiliki dampak yang signifikan apabila terjadi secara berulang.

3.Konsep-konsep
            Kultivasi merupakan kontribusi televisi pada penciptaan kerangka budaya atau pengetahuan dan konsep umum yang mendasarinya (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
            Sedangkan menurut Wood, kultivasi adalah proses kumulatif dimana televisi memupuk keyakinan tentang realitas sosial.
            Menurut Teori Kultivasi, televisi merupakan “sistem pesan” yang “menanamkan” atau menciptakan pandangan terhadap dunia, yang walaupun kemungkinan tidak akurat, tetapi menjadi realitas hanya karena kita-sebagai manusia-percaya bahwa hal tersebut adalah realitas dan mendasarkan penilaian kita terhadap dunia sehari-hari kepada “realitas” tersebut (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
            Untuk mengetahui pandangan kaum kultivasi terhadap televisi sebagai medium yang berpengaruh terhadap budaya, dapat dijelaskan melalui proses empat langkah. Langkah pertama adalah analisis sistem pesan, yaitu analisis konten televisi secara mendetail untuk mengukur tampilan gambar, tema, serta penggambaran secara berkala dan konsisten. Langkah kedua adalah formulasi pertanyaan mengenai realitas sosial pemirsa. Ingatkah anda pada pertanyaan sebelumnya mengenai kriminalitas ? Pertanyaan-pertannyaan tersebut didapatkan dari studi kultivasi. Langkah ketiga adalah dengan mensurvei khalayak, menanyakan pertanyaan dari langkah kedua kepada mereka dan menanyakan mereka mengenai jumlah konsumsi televisi. Terakhir, membandingkan realitas sosial dari penonton dengan konsumsi rendah (light viewer) dan penonton dengan konsumsi tinggi (heavy viewer).
            Terdapat dua cara hingga terjadinya kultivasi :

Mainstreaming
            Televisi menyimpulkan monopoli dan dominasi sumber informasi serta ide lain mengenai dunia. Orang-orang menghayati realitas sosial yang pada akhirnya cenderung mengikuti mayoritas, bukan dalam artian secara politik, tetapi realitas budaya dominan yang lebih dekat kepada realitas televisi daripada realitas obyektif. Apakah sistem keadilan terhadap kejahatan sudah gagal ? Demikian adanya jika kita berpikir demikian.

Resonansi
            Ketika penonton melihat hal-hal di televisi yang serupa dan mirip dengan realitas mereka sehari-hari. Intinya, orang-orang mendapatkan “dosis dobel” dari kultivasi karena apa yang mereka lihat di televisi mengulang apa yang terjadi pada kehidupan mereka sesungguhnya. Beberapa penduduk kota, misalnya, mungkin melihat dunia kekerasan di televisi mencerminkan lingkungan mereka sendiri yang buruk.
                       
           


           
A.    Indeks Kekerasan
      Indeks kekerasan adalah analisis konten tahunan dari sampel mingguan program hiburan pada jam tayang utama televisi yang memperlihatkan seberapa banyak kekerasan ditayangkan.
      Dalam satu minggu, secara umum, seberapa besar kemungkinan anda terlibat dalam tindak kekerasan, sekitar satu banding 10 atau 1 banding 100 ? Dalam dunia nyata, sebesar 0,41 tindak kekerasan terjadi per 100 orang Amerika, atau kurang dari 1 banding 200. Dalam dunia pertelevisian di jam tayang utama (prime time), lebih dari 64 persen dari seluruh tokohnya terlibat dalam kekerasan (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 402).
      Indeks kekerasan ini adalah bagian dari tugas Gerbner, yaitu membuat analisis konten tahunan dari sampel mingguan dari program hiburan jam tayang utama televisi yang memperlihatkan, dari musim ke musim, seberapa banyak kekerasan yang sebenernya ditayangkan dalam program tersebut.
      Namun indeks kekerasan ini juga menuai kritik dari Majalah TV Guide bahkan menyebutnya sebagai “kesalahan jutaan dolar”.  Perdebetan mengenai definisi kekerasan. Bagaimanakah “kekerasan dalam televisi” didefinisikan ? Apakah serangan verbal merupakan kekerasan ? apakah dua remaja yang main-main disebut kekerasan ? apakah kekerasan dalam film kartun bermasalah?
      Gerbner dan koleganya mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dan setiap tahunnya menyusun kembali skema definisi dan laporan mereka.
      Walaupun seperti itu, ada hal yang belum terjawab dalam proses ini, lalu dijawab dengan penelitian sejanjutnya proyek indikator kebudayaan. Menurut analisis kultivasi, merupakan penelitian dalam waktu tertentu terhadap program televisi dan konsepsi realitas sosial yang ditanamkan oleh tindakan menonton.
      Penelitian menjawab pertanyaan “lalu apa” dengan mengutarakan asumsi-asumsinya, seperti yang sudah tertulis diatas.
B.    Indeks Dunia Yang Kejam
      Salah satu contoh manfaat dari kultivasi adalah indeks dunia yang kejam, yaitu serangkaian pertanyaan mengenai insiden dan kekerasan yang jawabannya dapat digunakan untuk membedakan para penonton dengan konsumsi tinggi dan penonton dengan konsumsi rendah.
     Berikut contoh pertanyaan dalam indeks dunia yang kejam (Baran dan Davis, terj., Daud dan Izzati, 2010 : 407) :
1.     Apakah Anda percaya bahwa sebagian besar orang hanya memikirkan diri mereka sendiri ?
2.     Menurut Anda, apakah tidak ada istilah terlalu berhati-hati dalam berhadappan dengan seseorang ?
3.     Menurut Anda, apakah sebagian besar orang akan memanfaatkan Anda jika mereka punya kesempatan ?
      Ternyata melalui penelitian terlihat bahwa penonton dengan konsumsi tinggi melihat dunia sebagai tempat yang kejam dibandingkan dengan penonton konsumsi rendah. Para penonton yang lebih berpendidikan dan lebih mapan secara umum melihat dunia tidak sekejam seperti yang digambarkan oleh mereka yang kurang berpendidikan atau mereka yang kurang mapan. Demikian hasil temuan Gerbner yang  bermanfaat dalam perkembangan teori komunikasi massa.
4.Evaluasi Teori
            Teori ini memiliki beberapa kelebihan yaitu, memberikan penjelasan terperinci mengenai peran televisi, memberikan dasar bagi perubahan sosial, terutama melalui media televisi.           Selain itu, teori ini juga dapat menerjemahkan kembali “efek” sebagai lebih dari sekedar perubahan perilaku yang dapat diamati.
            Kekurangan dari teori ini adalah menganggap bahwa penonton itu pasif dan berfokus pada penonton televisi dengan konsumsi tinggi.

     

Referensi
1.      Baran, S. J., dan Dennis K. Davis. (2010). Mass Communication Theory : Foundations,            Ferment, and Future (5th ed), terj. Afrianto Daud, dan Putri Iva Izzati. Jakarta : Salemba     Humanika.
2.     Griffin, E. (1997). Communication : A first look at communication theory (3th ed.). New              York : McGraw-Hill.
3.     Littlejohn, S. (2008). Theories of  human communication (9th ed.). Belmont : Wadsworth.
4.     Nurudin. (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada..
5.     Wood, J.T. (2004). Communication Theories in Action, An Introduction (3th ed.).         Belmont : Wadsworth.


Mau Dapet Crew Bagus Di Opkita

Patut dicoba nih, saya terjadi 3 kali,, saya dapet crew S, mulai dari Satori, Shura, sam Don Krieg tanpa Super Call, alias cuma Advanced Call..
Caranya gimana????....


Gini,,, :
1. Pertahikan jam saat merekrut, baiknya, kira-kira anda menjadi yang pertama di hari itu,, misal ,, pda pukul 00.10 atau seterusnya, yg jelas dini hari..
2. Siapkan kopi + susu, kalo bisa jangan beli yang udah jadi kopi susu, tapi bkin sendiri, susunya terserah, kopinya kopi hitam.. dijamin, nambah nilai Hoki..
3. jangan lupa berdoa, kalo mau sih puasa semalam suntuk aja, biar tambah hoki + suci..
4. INI YANG PALING PENTING,, pilihlah bar rekruitmen yang menurut kalian paling baik,, oke, kalo udah, klik REKRUITMEN,, trus jangan langsung pilih advanced atau super,, coba yang LOW dluu..
5. Nah, pilih yang Low kira-kira 3x, ya gapapalah, demi sebuah crew S...
6. Kalo udah 3x klik Low,, siap-siap klik Advanced Call... JRENG..JRENG..JRENG...
7. Kalo masih dapet A,, kyanya lu emg harus ke EYANG SUBUR sob..

dah, sekian info dari gwe...crew gwe S 3 coy.. :P

Rabu, 19 Juni 2013

Opkita.. Game Baru Tentang One Piece

OPKITA.. Game baru tetang One Piece




Okke.. bwat para penggemar One Piece,, nih game baru open beta 15 Mei Kemaren.. Masih baru pada maen.. Buat yang mau gabung, langsung aja kunjungin web nya http://www.opkita.com/ .. Gw udah coba, seru ko maennya..

Selasa, 26 Februari 2013

Menulis Kutipan , Daftar Pustaka, Catatan Kaki

Adaa yang bingung , mau nulis daftar pustaka atau appa??
Nih, saya kasih penjelasan mengenai itu semua...
Dicek aja.. Valid..




Kutipan, Catatan Kaki, Catatan Tubuh

a.    Kutipan
Kutipan adalah pinjaman kalimat atau pendapat dari seorang penulis, baik yang terdapat dalam buku, majalah, koran, dan sumber lainnya, ataupun berasal dari ucapan seorang tokoh. Kutipan digunakan untuk mendukung argumentasi penulis.
Namun, penulis jangan sampai menyusun tulisan yang hanya berisi kumpulan kutipan. Kerangka karangan, kesimpulan, dan ide dasar harus tetap pendapat penulis pribadi, kutipan berfungsi untuk menunjang/mendukung pendapat tersebut. Selain itu, seorang penulis sebaiknya tidak melakukan pengutipan yang terlalu panjang, misalkan sampai satu halaman atau lebih, hingga pembaca lupa bahwa apa yang dibacanya adalah kutipan. Kutipan dilakukan seperlunya saja sehingga tidak merusak alur tulisan.
Kutipan juga bisa diambil dari pernyataan lisan dalam sebuah wawancara, ceramah, ataupun pidato. Namun, kutipan dari pernyataan lisan ini harus dikonfirmasikan dulu kepada narasumbernya sebelum dicantumkan dalam tulisan.
Terdapat dua jenis kutipan:
a.    Kutipan langsung, apabila penulis mengambil pendapat orang lain secara lengkap kata demi kata, kalimat demi kalimat, sesuai teks asli, tidak mengadakan perubahan sama sekali.
b.    Kutipan tidak langsung, apabila penulis mengambil pendapat orang lain dengan menguraikan inti sari pendapat tersebut, susunan kalimat sesuai dengan gaya bahasa penulis sendiri.

b.    Sumber Kutipan (Referensi)

Salah satu karakter utama tulisan ilmiah adalah referensial, menunjukkan bahwa argumen-argumen yang diajukan dilandasi oleh teori atau konsep tertentu, sekaligus menunjukkan kejujuran intelektual dengan mencantumkan sumber kutipan (referensi) yang digunakan. Dalam praktik penulisan, setiap kali penulis mengutip pendapat orang lain, baik dari buku, majalah, ataupun wawancara, setelah kutipan itu harus dicantumkan sumber kutipan (buku, majalah, atau koran) yang digunakan.
Secara mendasar, pencantuman sumber kutipan ini mempunyai fungsi sebagai:
1.    Menyusun pembuktian (etika kejujuran dan keterbukaan ilmiah).
2.    Menyatakan penghargaan kepada penulis yang dikutip (etika hak cipta intelektual).
Terdapat dua model pencantuman referensi:
a.    Catatan tubuh (bodynote), dilakukan ketika penulis mencantumkan sumber kutipan langsung setelah selesainya sebuah kutipan dengan menggunakan tanda kurung.
b.    Catatan kaki (footnote), dilakukan apabila penulis mencantumkan nomor indeks di akhir sebuah kutipan, lalu di bagian bawah halaman tersebut (bagian kaki halaman) terdapat keterangan nomor indeks yang menjelaskan sumber kutipan tersebut.
Sebuah tulisan ilmiah harus menggunakan salah satu jenis penulisan referensi tersebut, serta harus konsisten dengan jenis tersebut. Artinya, ketika sebuah tulisan menggunakan bodynote, maka seluruh referensi dari awal hingga akhir tulisan harus menggunakan bodynote. Atau, jika seorang penulis menggunakan catatan kaki, sejak awal hingga akhir tulisan, penulis harus menggunakan catatan kaki untuk menuliskan referensinya.
           
c.    Teknik Menggunakan Catatan Kaki

Catatan kaki mempunyai kelebihan dibandingkan dengan catatan tubuh, yaitu:
1).   Catatan kaki mampu menunjukkan sumber referensi dengan lebih lengkap. Dalam cacatan tubuh, yang ditampilkan hanya nama pengarang, tahun terbit buku, serta halaman buku yang dikutip. Dalam catatan kaki, nama pengarang, judul buku, tahun terbit, nama penerbit, dan halaman dapat dicantumkan semua. Hal ini tentu mempermudah penelusuran bagi pembaca.
2).   Selain sebagai penunjukan referensi, catatan kaki dapat berfungsi untuk memberikan catatan penjelas yang diperlukan. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan dengan catatan tubuh.
3).   Catatan kaki dapat digunakan untuk merujuk bagian lain dari sebuah tulisan.

Berdasarkan kelebihannya tersebut, catatan kaki bisa berisi:
1).   Penunjukan sumber kutipan (referensi).
2).   Catatan penjelas.
3).   Penunjukan sumber kutipan sekaligus catatan penjelas.
              
Prinsip-prinsip dalam menuliskan catatan kaki:
1)    Catatan kaki dicantumkan di bagian bawah halaman, dipisahkan dengan naskah skripsi oleh sebuah garis. Pemisahan ini akan otomatis dilakukan oleh program Microsoft Word dengan cara mengklik insert, kemudian reference, kemudian footnote.
2)    Nomor cacatan kaki ditulis secara urut pada tiap bab, mulai dari nomor satu. Artinya, cacatan kaki pertama di tiap awal bab menggunakan nomor satu, begitu seterusnya.
3)    Catatan kaki ditulis dengan satu spasi.
4)    Pilihan huruf dalam catatan kaki harus sama dengan pilihan huruf dalam naskah skripsi, hanya ukurannya lebih kecil, yaitu:
ü  Times New Roman (size 10)
ü  Arial (size 9)
ü  Tahoma (size 9)
5)    Baris pertama catatan kaki menjorok ke dalam sebanyak tujuh karakter.
6)    Judul buku dalam catatan kaki ditulis miring (italic).
7)    Nama pengarang dalam catatan kaki ditulis lengkap dan tidak dibalik.
8)    Catatan kaki bisa berisi keterangan tambahan. Pertimbangan utama memberikan keterangan tambahan adalah: jika keterangan tersebut ditempatkan dalam naskah (menyatu dengan naskah) akan merusak alur tulisan atau naskah tersebut. Tidak ada batasan seberapa panjang keterangan tambahan, asalkan proporsional.

Buku dengan satu pengarang
Nama pengarang, judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[1]

Buku dengan dua atau tiga pengarang
Nama pengarang 1, nama pengarang 2, nama pengarang 3, judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[2]

Buku dengan banyak pengarang
Nama pengarang pertama, et al., judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[3]
Perhatikan: hanya nama pengarang pertama yang dicantumkan, nama-nama pengarang lainnya diganti dengan singkatan et al.

Buku yang telah direvisi
Nama pengarang, judul buku (rev.ed.; kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[4]
Perhatikan: singkatan rev.ed. menunjukkan bahwa buku tersebut telah mengalami revisi.

Buku yang terdiri dua jilid atau lebih
Nama pengarang, judul buku (nomor volume/jilid; kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[5]

Buku terjemahan
Nama pengarang asli, judul buku, terj. nama penerjemah (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[6]
Perhatikan: singkatan terj. menunjukkan bahwa buku tersebut telah diterjemahkan dan penulis mengutip dari terjemahan tersebut.

Kamus
Nama pengarang, judul kamus (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[7]



Artikel dari sebuah buku antologi
Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” judul buku, ed. nama editor (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[8]
Perhatikan: jika editor satu orang maka menggunakan singkatan ed., namun jika editor dua orang atau lebih menggunakan singkatan eds.

Artikel dari sebuah jurnal/majalah ilmiah
Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” nama jurnal/majalah ilmiah, edisi jurnal (bulan terbit, tahun terbit), halaman.[9]

Artikel dari koran/majalah
Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” nama media, tanggal terbit, tahun, halaman.[10]

Berita koran/majalah
”Judul berita,” nama media, tanggal terbit, tahun, halaman.[11]

Skripsi/Tesis/Disertasi yang belum diterbitkan
Nama penulis, ”judul skripsi/tesis/disertasi,” (level karya, fakultas dan universitas, nama kota, tahun terbit), halaman.[12]

Makalah seminar yang tidak diterbitkan
Nama penulis, ”judul makalah,” (forum penyampaian makalah, penyelenggara seminar, nama kota, tanggal seminar, tahun).[13]

Dokumen yang tidak diterbitkan
Lembaga yang mengeluarkan dokumen, nama dokumen, (nama kota, tanggal dikeluarkan dokumen, tahun).[14]

Artikel dari internet
Nama penulis, ”judul artikel,” alamat lengkap internet (tanggal akses).[15]
Jika artikel di internet tidak mencantumkan nama penulis, maka langsung mengacu pada judul artikel.[16]

Pernyataan lisan
Nama narasumber, jenis pernyataan (wawancara atau pidato), tanggal pernyataan dilakukan.[17]

Referensi dari sumber kedua
Keterangan lengkap sumber pertama (sesuai dengan aturan catatan kaki), seperti dikutip oleh keterangan lengkap sumber kedua (sesuai aturan catatan kaki).[18]
Perhatikan: frase ”seperti dikutip oleh” menunjukkan bahwa penulis tidak membaca sumber asal (pertama) kutipan, hanya membaca dari orang lain (sumber kedua) yang mengutip sumber pertama.

d.    Beberapa Singkatan Khusus dalam Catatan Kaki

1)    Ibid.
Singkatan ini berasal dari bahasa latin ibidem yang berarti pada tempat yang sama. Singkatan ini digunakan apabila referensi dalam catatan kaki nomor tersebut sama dengan referensi pada nomor sebelumnya (tanpa diselingi catatan kaki lain). Apabila halamannya sama, cukup ditulis Ibid., bila halamannya berbeda, setelah Ibid. dituliskan nomor halamannya.

2)    Op.Cit.
Singkatan ini berasal dari bahasa latin opere citato yang berarti pada karya yang telah dikutip. Singkatan ini digunakan apabila referensi dalam catatan kaki pada nomor tersebut sama dengan referensi yang telah dikutip sebelumnya, namun diselingi catatan kaki lain. Op.Cit. khusus digunakan bagi referensi yang berupa buku.

3)    Loc.Cit.
Singkatan ini berasal dari bahasa latin loco citato yang berarti pada tempat yang telah dikutip. Singkatan ini digunakan sama dengan Op.Cit., yaitu apabila referensi dalam catatan kaki pada nomor tersebut sama dengan referensi yang telah dikutip sebelumnya, namun diselingi catatan kaki lain. Namun, referensi yang diacu Loc.Cit. bukan berupa buku, melainkan artikel, baik itu dari koran, majalah, ensiklopedi, internet, atau lainnya.

Contoh penggunaan:
1 Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 45.
2 Ibid.
3 Ibid., hal. 55.
4 Dedy N. Hidayat, "Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi," Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,  No. 2 (Oktober, 1998), hal. 25-26.
5 Ibid., hal. 28.
6  Arthur Asa Berger, Op.Cit., hal. 70.
7 Hubert L. Dreyfus, Paul Rabinow, Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hal. 72 - 76.
8 Francis Fukuyama, “Benturan Islam dan Modernitas,” Koran Tempo, 22 November, 2001, hal. 45.
9 Robert McChesney, “Rich Media Poor Democracy,” www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html (akses 16 Agustus 2006).
10 Arthur Asa Berger, Op.Cit., hal. 96.
11 Ibid., hal. 99.
12 Ibid.
13 Dedy N. Hidayat, Loc.Cit., hal. 22.
14 Francis Fukuyama, Loc.Cit.
15 Hubert L. Dreyfus, Paul Rabinow, Op.Cit., 58.
16 Dedy N. Hidayat, Loc.Cit., hal. 21.

Cara membaca:
        
ü  Catatan kaki nomor (2) menggunakan Ibid., karena sumber kutipannya sama persis dengan nomor (1) baik buku maupun halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (3) buku referensinya sama dengan nomor (2), hanya saja beda halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (5) referensinya sama dengan nomor (4), hanya saja beda halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (6), referensinya sama dengan nomor (1), karena telah diselingi oleh catatan kaki lain, maka menggunakan Op.Cit., serta menuliskan nama pengarang dan halaman.
ü  Catatan kaki nomor (10) referensinya sama dengan nomor (1), karena telah diselingi oleh catatan kaki lain, maka menggunakan Op.Cit.
ü  Catatan kaki nomor (11), referensinya sama dengan catatan kaki sebelumnya, tanpa diselingi catatan kaki lain, yaitu nomor (10), hanya saja beda halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (12) referensinya sama persis dengan nomor (11).
ü  Catatan kaki nomor (13) referensinya sama dengan nomor (4), hanya beda halamannya, karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (4) berbentuk artikel (bukan buku) maka menggunakan Loc.Cit., serta menuliskan halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (14) referensinya sama persis, termasuk halamannya, dengan nomor (8), karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (8) berbentuk artikel (bukan buku) maka menggunakan Loc.Cit.
ü  Catatan kaki nomor (15) referensinya sama dengan nomor (7), hanya beda halaman, karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (7) berbentuk buku (bukan artikel) maka menggunakan Op.Cit., serta menuliskan halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (16) referensinya sama dengan nomor (4), hanya beda halamannya, karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (4) berbentuk artikel (bukan buku) maka menggunakan Loc.Cit., serta menuliskan halamannya.




e.    Teknik Menggunakan Catatan Tubuh

Kelebihan catatan tubuh adalah kemudahan bagi pembaca dalam mengecek sumber sebuah kutipan yang langsung terdapat sebelum atau setelah kutipan tersebut, tanpa perlu berpindah ke bagian bawah halaman.
Prinsip-prinsip dalam menuliskan catatan tubuh:
1).   Catatan tubuh menyatu dengan naskah, hanya ditandai dengan kurung buka dan kurung tutup.
2).   Catatan tubuh memuat nama belakang penulis, tahun terbit buku dan halaman yang dikutip. Contoh:
a).   Nama penulis adalah Arthur Asa Berger, maka cukup ditulis Berger.
b).   Nama penulis Jalaluddin Rakhmat, maka cukup ditulis Rakhmat.
3).   Terdapat dua cara menuliskan catatan tubuh:
a).   Nama penulis, tahun terbit dan halaman berada dalam tanda kurung, ditempatkan setelah selesainya sebuah kutipan. Jika kutipan ini merupakan akhir kalimat, maka tanda titik ditempatkan setelah kurung tutup catatan tubuh. Contoh:
Di titik inilah esensi hegemoni: hubungan di antara agen-agen utama yang menjadi alat sosialisasi dan orientasi ideologis, yang berinteraksi, kumulatif, dan diterima oleh masyarakat (Lull, 1995: 31-38).
b).   Nama penulis menyatu dalam naskah tulisan, tidak berada dalam tanda kurung, sementara tahun penerbitan dan halaman berada dalam tanda kurung. Model ini biasanya ditempatkan sebelum sebuah kutipan. Contoh:
Menurut Lull (1995: 31-38), di titik inilah esensi hegemoni: hubungan di antara agen-agen utama yang menjadi alat sosialisasi dan orientasi ideologis, yang berinteraksi, kumulatif, dan diterima oleh masyarakat.

Buku dengan satu pengarang
ü  ..... (Lull, 1995: 31 – 38).
ü  Menurut Lull (1995: 31 – 38), .....

Buku dengan dua atau tiga pengarang
ü  ….. (Dreyfus dan Rabinow, 1982: 72 – 76).
ü  Dreyfus dan Rabinow (1982: 72 – 76) mengatakan …..

Buku dengan banyak pengarang
ü  ...... (Ibrahim, et al., 1997: 52 – 54).
ü  ...... (Ibrahim, dkk., 1997: 52 – 54).

Buku yang terdiri dua jilid atau lebih
ü  ..... (Lapidus, Vol.1, 1988: 131).
ü  Mengacu pada Lapidus (Vol.1, 1988: 131), …..

Buku terjemahan
ü  ….. (Berger, terj., Setio Budi, 2000: 44 – 45).
ü  Berger (terj., Setio Budi, 2000: 44 – 45) menandaskan .....



Artikel dari sebuah buku antologi
ü  ..... (Alam, dalam Mastuhu dan Ridwan (eds.), 1998: 77).
ü  Menurut Alam (dalam Mastuhu dan Ridwan (eds.), 1998: 77), .....
Perhatikan: jika editor satu orang maka menggunakan singkatan ed., namun jika editor dua orang atau lebih menggunakan singkatan eds.

Artikel dari sebuah jurnal/majalah ilmiah
ü  ...... (Hidayat, Jurnal ISKI, No. 2, Oktober 1998: 25-26).
ü  Hidayat (Jurnal ISKI, No. 2, Oktober 1998: 25-26) menyebut …..

Artikel dari koran/majalah
ü  ..... (Fukuyama, Koran Tempo, 22 November 2001).
ü   Melandaskan argumen pada Fukuyama (Koran Tempo, 22 November 2001), ......

Berita koran/majalah
ü  ..... (Republika, 10 September 2002).
ü  Harian Republika (10 September 2002) memberitakan .....

Skripsi/Tesis/Disertasi yang belum diterbitkan
ü  ..... (Nazaruddin, Skripsi, 2004: 205).
ü  Menurut Nazaruddin (Skripsi, 2004: 205), .....

Makalah seminar yang tidak diterbitkan
ü  ..... (Nazaruddin, Makalah, 2007).
ü  Dalam makalahnya yang disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional Komunikasi, Nazaruddin (2007) mengatakan, .....

Dokumen yang tidak diterbitkan
ü  ..... (U.S. Department of Foreign Affairs, 1998).
ü  Dalam dokumen yang dikeluarkan U.S. Department of Foreign Affairs (1998) disebutkan bahwa …..

Artikel dari internet
ü  ….. (Chesney, www.thirdworldtraveler.com/ Robert_McChesney_ page.html, akses 15 Juni 2007).
ü  Mengutip Chesney (www.thirdworldtraveler.com/Robert_ McChesney_page.html, akses 15 Juni 2007), …..
Perhatikan: alamat web yang dicantumkan adalah alamat lengkap, dengan cara copy-paste dari address web secara langsung.

Pernyataan lisan
ü  ….. (Samijan, wawancara, 11 November 2006).
ü  Dalam wawancara dengan penulis, Samijan (11 November 2006) mengatakan ……

Referensi dari sumber kedua
ü   Menurut Marx (seperti dikutip Takwin, 2000: 44), ......





f.     Penggunaan Kutipan dan Referensi

1).  Kutipan langsung empat baris atau lebih

Prinsip-prinsip:
                                  a).      Kutipan dipisahkan dari teks.
                                  b).      Kutipan menjorok ke dalam lebih kurang tujuh karakter. Bila awal kutipan adalah alinea baru, baris pertama kutipan menjorok lagi ke dalam lebih kurang tujuh karakter.
                                  c).      Kutipan diketik dengan spasi satu.
                                 d).      Kutipan diawali dan diakhiri dengan tanda kutip (boleh tidak).
                                  e).      Jika menggunakan catatan tubuh (bodynote), maka cacatan tubuh dicantumkan setelah kutipan. Contoh:

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kelas berkuasa bekerja melalui ideologi untuk melanggengkan dominasi mereka? Barangkali penting dikutip di sini bagaimana Marx menjelaskan bekerjanya kelas berkuasa:
“Individu-individu yang menyusun kelas yang berkuasa berkeinginan memiliki sesuatu/kesadaran dari yang lainnya. Ketika mereka memegang peranan sebagai sebuah kelas dan menentukan keseluruhannya dalam sebuah kurun waktu, hal tersebut adalah bukti diri bahwa mereka melakukan tersebut dalam jangkauannya kepada yang lainnya, memegang peranan sekaligus pula sebagai pemikir-pemikir, sebagai pemproduksi ide serta mengatur produksi dan distribusi idenya pada masa tersebut.” (Berger, 2000: 44 – 45)
Dalam contoh di atas, kalimat ”Pertanyaannya kemudian.....bekerjanya kelas berkuasa” adalah naskah skripsi. Kalimat ”Individu-individu.....pada masa tersebut” adalah kutipan langsung dari sebuah buku yang ditulis Arthur Asa Berger, diterbitkan pada tahun 2000, dan kutipan berasal dari halaman 44-45 buku tersebut.
                                   f).      Jika menggunakan catatan kaki (footnote), maka nomor indeks ditempatkan setelah kutipan, lalu di bagian bawah halaman tersebut (bagian kaki halaman) terdapat keterangan nomor indeks yang menjelaskan sumber kutipan tersebut. Contoh:

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kelas berkuasa bekerja melalui ideologi untuk melanggengkan dominasi mereka? Barangkali penting dikutip di sini bagaimana Marx menjelaskan bekerjanya kelas berkuasa:
“Individu-individu yang menyusun kelas yang berkuasa berkeinginan memiliki sesuatu/kesadaran dari yang lainnya. Ketika mereka memegang peranan sebagai sebuah kelas dan menentukan keseluruhannya dalam sebuah kurun waktu, hal tersebut adalah bukti diri bahwa mereka melakukan tersebut dalam jangkauannya kepada yang lainnya, memegang peranan sekaligus pula sebagai pemikir-pemikir, sebagai pemproduksi ide serta mengatur produksi dan distribusi idenya pada masa tersebut.” [19]
Dalam contoh di atas, kalimat ”Pertanyaannya kemudian.....bekerjanya kelas berkuasa” adalah naskah skripsi. Kalimat ”Individu-individu.....pada masa tersebut” adalah kutipan. Catatan kaki dalam contoh ini bisa dilengkapi dengan keterangan tambahan. [20]

2).  Kutipan langsung kurang dari empat baris
Prinsip-prinsip:
                                  a).      Kutipan tidak dipisahkan dari teks (menyatu dengan teks).
                                  b).      Kutipan harus diawali dan diakhiri dengan tanda kutip.
                                  c).      Jika menggunakan catatan tubuh, contoh:

Bagi sebuah kekuasaan resmi negara, salah satu representasi ideologi yang penting terwujud dalam pidato dan pernyataan-pernyataan para penyelenggara kekuasaan negara tersebut, secara khusus adalah seorang presiden ataupun raja yang berkuasa. Hart (1967: 61) mengatakan: "The symbolic dimensions of politics speech-making, for presidents, is a political act, the mechanism for wielding power."
Dalam contoh di atas, kalimat “Bagi sebuah kekuasaan ….. raja yang berkuasa” adalah naskah skripsi. Kalimat “The symbolic ….. for wielding power” adalah kutipan dari buku yang ditulis R.P. Hart, diterbitkan pada tahun 1967, dan kutipan berasal dari halaman 61 buku tersebut.

                                 d).      Jika menggunakan catatan kaki, contoh:

Bagi sebuah kekuasaan resmi negara, salah satu representasi ideologi yang penting terwujud dalam pidato dan pernyataan-pernyataan para penyelenggara kekuasaan negara tersebut, secara khusus adalah seorang presiden ataupun raja yang berkuasa. Hart mengatakan: "The symbolic dimensions of politics speech-making, for presidents, is a political act, the mechanism for wielding power." [21]
Dalam contoh di atas, kalimat “Bagi sebuah kekuasaan ….. raja yang berkuasa” adalah naskah skripsi. Kalimat “The symbolic ….. for wielding power” adalah kutipan. Catatan kaki dalam contoh ini bisa dilengkapi dengan keterangan tambahan. [22]

3).   Kutipan tidak langsung.
Prinsip-prinsip:
                                  a).      Kutipan tidak dipisahkan dari teks (menyatu dengan teks).
                                  b).      Kutipan tidak boleh menggunakan tanda kutip.
                                  c).      Jika menggunakan catatan tubuh, contoh:

Media bukanlah sarana netral yang menampilkan berbagai ideologi dan kelompok apa adanya, media adalah subjek yang lengkap dengan pandangan, kepentingan, serta keberpihakan ideologisnya. Janet Woollacott dan David Barrat menegaskan pandangan para teoritis Marxis bahwa ideologi yang dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan (Wollacott,  1982: 109, Barrat, 1994: 51-52). Media berpihak pada kelompok dominan, menyebarkan ideologi mereka sekaligus mengontrol dan memarginalkan wacana dan ideologi kelompok-kelompok lain.
Dalam contoh di atas, pernyataan bahwa ”ideologi yang dominan yang akan tampil dalam pemberitaan” adalah inti pendapat dari James Wollacott dan David Barrat yang penulis sajikan dalam bahasa sendiri.

                                 d).      Jika menggunakan catatan kaki, contoh:

 Media bukanlah sarana netral yang menampilkan berbagai ideologi dan kelompok apa adanya, media adalah subjek yang lengkap dengan pandangan, kepentingan, serta keberpihakan ideologisnya. Janet Woollacott dan David Barrat menegaskan pandangan para teoritis Marxis bahwa ideologi yang dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan.[23] Media berpihak pada kelompok dominan, menyebarkan ideologi mereka sekaligus mengontrol dan memarginalkan wacana dan ideologi kelompok-kelompok lain.
Dalam contoh di atas, catatan kaki bisa dilengkapi dengan keterangan tambahan. [24]

7.   Daftar Pustaka

Daftar pustaka/bibliografi adalah daftar yang berisi buku, artikel, dokumen, dan segenap kepustakaan lainnya yang digunakan dalam menyusun sebuah tulisan ilmiah, ditempatkan di bagian terakhir (halaman terpisah/tersendiri) dari tulisan ilmiah tersebut. Daftar pustaka atau bibliografi mutlak ada dalam sebuah karya ilmiah, menunjukkan sifat referensial atas karya tersebut. Bibliografi disusun secara alfabetis (Lampiran VI.3).
Unsur-unsur dalam sebuah daftar pustaka:
ü  Nama pengarang (ditulis secara terbalik).
ü  Judul buku (termasuk judul tambahannya).
ü  Data publikasi (tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit).
ü  Nama pengarang artikel dan judul artikel (untuk artikel).
ü  Data publikasi media, untuk artikel di media (nama media, tanggal terbit).
ü  Alamat lengkap internet dan waktu akses (untuk bahan dari internet).

Cara penyusunan daftar pustaka:

Buku dengan satu pengarang

Nama pengarang (dibalik). Judul buku. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Barrat, David. Media Sociology. London and New York: Routledge, 1994.

Buku dengan dua atau tiga pengarang

Nama pengarang 1 (dibalik), nama pengarang 2 (tidak dibalik), nama pengarang 3 (tidak dibalik). Judul buku. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Dreyfus, Hubert L., Paul Rabinow. Beyond Structuralism and Hermeneutics. Chicago: University of Chicago Press, 1982.

Buku dengan banyak pengarang

Nama pengarang 1 (dibalik), et.al. Judul buku. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Ibrahim, Idi Subandi, et.al. Hegemoni Budaya. Yogyakarta: Bentang, 1997.

Buku yang telah direvisi

Nama pengarang (dibalik). Judul buku. Rev.ed. Kota penerbit: nama penerbit,  tahun terbit.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Rev.ed. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

Buku yang terdiri dua jilid atau lebih

Nama pengarang (dibalik). Judul buku. Volume/Jilid. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societes. Vol.1. Cambridge: Cambridge University Press, 1988.


Buku terjemahan

Nama pengarang asli (dibalik). Judul buku, terj. nama penerjemah. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Berger, Arthur Asa. Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi HH. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000.

Kamus

Nama pengarang kamus (dibalik). Judul kamus. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Artikel dari sebuah buku antologi

Nama pengarang artikel (dibalik). ”Judul artikel,” Judul buku, ed. nama editor. Kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit.
Alam, Rudi Harisyah. “Perspektif Pasca-Modernisme dalam Kajian Keagamaan,” Kajian Keagamaan dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu, eds.  Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., M. Deden Ridwan. Bandung: Penerbit Nuansa dan PUSJARLIT, 1998.

Perhatian: jika editor satu orang maka menggunakan singkatan ed., namun jika editor dua orang atau lebih menggunakan singkatan eds.

Artikel dari sebuah jurnal/majalah ilmiah

Nama pengarang artikel (dibalik). ”Judul artikel,” Nama jurnal/majalah ilmiah, edisi jurnal (bulan terbit, tahun terbit), halaman.
Hidayat, Dedy N. "Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi," Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,  II (Oktober, 1998), hal. 32-43.

Perhatian: halaman yang dimaksud di daftar pustaka ini adalah halaman dari awal sampai akhir tempat artikel berada dalam jurnal/majalah ilmiah, bukan halaman yang dikutip.

Artikel dari koran/majalah

Nama pengarang artikel (dibalik). ”Judul artikel,” Nama media, tanggal dan tahun terbit.
Fukuyama, Francis. “Benturan Islam dan Modernitas,” Koran Tempo, 22 November 2001.

Berita koran/majalah

”Judul berita,” Nama media, tanggal dan tahun terbit.
“Islam di AS Jadi Agama Kedua,” Republika, 10 September 2002.




Skripsi/Tesis/Disertasi yang belum diterbitkan

Nama penulis (dibalik). ”Judul skripsi/tesis/disertasi.” Level karya, fakultas dan universitas, nama kota, tahun terbit.
Nazaruddin, Muzayin. “War Against Terrorism: Critical Discourse Analysis.” Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004.

Makalah seminar yang tidak diterbitkan

Nama penulis (dibalik). ”Judul makalah.” Forum penyampaian makalah, penyelenggara seminar, nama kota, tahun.
Nazaruddin, Muzayin. “Dua Tipe Perempuan dalam Film dan Sinetron Mistik Indonesia.” Makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

Dokumen yang tidak diterbitkan

Lembaga yang mengeluarkan dokumen. Nama dokumen. Nama kota, tanggal dan tahun dikeluarkan dokumen.
U.S. Department of Foreign Affairs. Testimony by John. J. Maresca, Vice President International Relations Unocal Corporation to House Committee on International Relations Subcommittee on Asia and The Pacific. Washington D.C., 12 February 1998.

Artikel di internet

Nama penulis (dibalik). ”Judul artikel.” Alamat lengkap internet (waktu akses).
McChesney, Robert. “Rich Media Poor Democracy.” www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html (akses 16 Agustus 2006).

”Judul artikel.” Alamat lengkap internet (waktu akses).
“Pengelolaan Bencana: Pengelolaan Kerentanan Masyarakat.” www.walhi.or.id/kampanye/bencana (akses 17 Agustus 2006).




[1] David Barrat, Media Sociology (London and New York: Routledge, 1994), hal. 273.
[2] Hubert L. Dreyfus, Paul Rabinow, Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hal. 72 - 76.
[3] Idi Subandi Ibrahim, et al., Hegemoni Budaya (Yogyakarta: Bentang, 1997), hal. 52 - 54.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (rev.ed.; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 55.
[5] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societes (Vol.1; Cambridge: Cambridge University Press, 1988), hal. 131.
[6] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi HH. (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 44 – 45.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 595.
[8] Rudi Harisyah Alam, “Perspektif Pasca-Modernisme dalam Kajian Keagamaan,” Kajian Keagamaan dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu, eds.  Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., M. Deden Ridwan (Bandung: Penerbit Nuansa dan PUSJARLIT, 1998), hal. 67-77.
[9] Dedy N. Hidayat, "Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi," Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,  No. 2 (Oktober, 1998), hal. 25-26.
[10] Francis Fukuyama, “Benturan Islam dan Modernitas,” Koran Tempo, 22 November, 2001, hal. 4.
[11] “Islam di AS Jadi Agama Kedua,” Republika, 10 September, 2002, hal. 6.
[12] Muzayin Nazaruddin, “War Against Terrorism: Critical Discourse Analysis,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004), hal. 205.
[13] Muzayin Nazaruddin, “Dua Tipe Perempuan dalam Film dan Sinetron Mistik Indonesia,” (Makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta, 26 – 28 Juni, 2007).
[14] U.S. Department of Foreign Affairs, Testimony by John. J. Maresca, Vice President International Relations Unocal Corporation to House Committee on International Relations Subcommittee on Asia and The Pacific (Washington D.C., 12 February, 1998).
[15] Robert McChesney, “Rich Media Poor Democracy,” www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html (akses 16 Agustus 2006).
[16] “Pengelolaan Bencana: Pengelolaan Kerentanan Masyarakat,” www.walhi.or.id/kampanye/bencana (akses 17 Agustus 2006).
[17] Samijan, wawancara dengan penulis, 11 November 2006.
[18] Karl Marx, Selected Writings in Sociology and Social Philosophy, eds. T.B. Bottomore and Maximilien Rubel (New York: McGraw-Hill, 1964), hal. 78, seperti dikutip oleh Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi HH. (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 44 – 45.
[19] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 44 – 45.
[20] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 44 – 45. Cukup jelas, Marx menawarkan gagasan bahwa ide-ide atau gagasan pada suatu masa adalah yang disebarluaskan dan dipopulerkan oleh kelas berkuasa sesuai kepentingannya. Kelas penguasa itu, seperti ditegaskan Marx, merupakan pemikir, pemproduksi ide sekaligus mengatur distribusi idenya. Dalam hal produksi dan penyebarluasan ide inilah kita bisa mengurai saling keterkaitan antara kelas penguasa, ideologi, wacana dan media.
[21] R.P. Hardt, The Sound of Leadership: Presidential Communication in the Modern-Age (Chicago: Chicago University Press, 1987), hal. 61. 
[22] Pada dasarnya tiap pemimpin politik selalu menciptakan bahasa politik yang menjadi kekuatan utama konsolidasi simbolik dalam rangka mendukung politik dijalankan serta meneguhkan ideologi kekuasaan. Dalam sebuah studinya mengenai pidato kemenangan presiden di Amerika, Corcohan menunjukkan bahwa tiap presiden ternyata mempunyai gaya bahasa serta strategi wacana yang berbeda. Lihat lebih jauh di R.P. Hardt, The Sound of Leadership: Presidential Communication in the Modern-Age (Chicago: Chicago University Press, 1987), hal. 61. 
[23] David Barrat, Media Sociology (London and New York: Routledge, 1994), hal. 51-52. Lihat juga Janet Wollacott, “Message and Meanings”, dalam Culture, Society and the Media, eds. Michael Gurevitch, James Curran and James Wollacott (London: Methuen, 1982), hal. 109.
[24] Keberpihakan media akan menampilkan kelompok dominan dalam pemberitaan. Lebih jauh, media bukan hanya alat bagi ideologi dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan itu sendiri. Lihat David Barrat, Media Sociology (London and New York: Routledge, 1994), hal. 51-52. Lihat juga Janet Wollacott, “Message and Meanings”, dalam Culture, Society and the Media, eds. Michael Gurevitch, James Curran and James Wollacott (London: Methuen, 1982), hal. 109.